Rabu, 27 Juli 2016

Ilmu Penunjang

Setiap skill akan terasah dengan semakin banyaknya menangani kasus, demikian halnya dengan  ketrampilan pengobatan atau terapi.

Dengan hanya satu jenis ilmu, tentu pandangan terapis terhadap suatu kasus, lebih sempit dibandingkan jika dia menguasai lebih dari satu bidang keahlian.

Kemarin, ada kenalan yang minta tolong untuk menangani neneknya yang pasca stroke serangan kedua. Karena terapis akupunktur sedang tidak bisa bertugas, maka rekan terapis bekam diminta untuk melihat kondisi klien.

Kondisi klien, tidak bisa bicara, tangan dan kaki kanan tanpa tenaga, dengan isyarat dia menyatakan tidak merasakan sakit saat ditekan.

Melihat kondisi tersebut, sedang tindakan akupunktur yang biasanya jadi pilihan utama untuk kasus seperti itu tidak bisa dilakukan, akhirnya terapis melakukan bekam di beberapa titik dan ditambah dengan pijat refleksi.

Allahuakbar!

Betapa gembira sang cucu yang nampak sudah kelelahan merawatnya beberapa hari, mendengar neneknya bisa bicara, mengeluh sakit di bagian kaki dan setelah terapi bisa berjalan walau dipapah.

Sebagai terapis, kita sulit dituntut untuk spesial di bidang tertentu, hanya bekerja dengan dasar satu cabang ilmu, karena pada kenyataannya, masyarakat datang ke terapis tanpa melihat keluhannya harusnya ditangani terapis bidang apa. Dan pada umumnya, terapis bekerja bukan semata karena profesi, tapi lebih didasari pada upaya menolong orang yang kesusahan.

Biasanya, terapis terus meningkatkan ilmunya, baik mendalami ilmu yang sudah dipelajari maupun menambah ilmu yang mendukung.

Rabu, 23 Maret 2016

Tawakal

Umi : Bi, beras habis, uang belanja juga nyaris.

Abi : Itu artinya sebentar lagi Allah kasih rizki

***
Umi : Bi, awal bulan depan Hany butuh 7 ratus ribu.

Abi : Ya, nanti Allah kasihnya bulan depan.

***
Itu bukan dongeng atau cerpen, atau keluarga ulama, tapi itu nyata, sehari-hari.

Jawaban yang menenangkan!
Apakah setenang itu juga fikirannya? Pasrah tanpa memikirkan bagaimana cara mendapatkannya?

Tentu saja tidak. Berat bebannya selaku imam dan penanggung jawab, tidak diungkapkan dengan kata, tapi sebagai istri tahu banget ekspresi dalam bentuk lainnya.

Saat Abi berinisiatif cuci piring, bukan semata karena mau makan piring kotor semua, tapi itu salah satu bentuk refreshingnya.

Pulang sore, cape, menyiram bunga dan tanaman, bukan juga karena memang Umi kurang perhatian terhadap depan rumah, tapi itu juga salah satu cara penyaluran dari bebannya.

Atau saat lagu "Ayah" dari Ebiet diperdengarkan, maka Umi segera kasih kode anak-anak. Mereka paham dan langsung beraksi membully dengan cara kocak.

Hidup ini ujian, dalam berbagai bentuknya. Sikap tenang dalam menghadapinya akan sangat membantu menghadapinya. Kesolidan anggota keluarga akan sangat meringankan beban yang harus ditanggungnya.

Minggu, 20 Maret 2016

Preman Takut Jarum

Bapak : Saya ini preman, nggak takut dengan apapun, kecuali satu, jarum!
Umi : Kalau gitu, sekalian aja, Pak. Atasi takut jarum, jadi nggak ada lagi yang Bapak takutkan, kecuali Allah.

Bapak : Nggak sakit?

Umi : Nggak.

Agak lama beliau membisu, sang istri membujuknya seperti menghadapi anak kecil. Hmm, gitu deh! Umi sudah sering menghadapi hal seperti ini. Kadang nggak masuk akal! Badan kekar, biasa menghadapi pistol dan senjata lain, hidup penuh kekerasan, lha kok sama jarum takut. Trus satu lagi, peran istri. Benar, ya? Wanita itu penakluk! 😃😃

Umi : Kita coba satu dulu, ya. Setelah itu terserah Bapak, mau dilanjutkan atau batal.

Bapak : Mah, sini pegangin. Papa nggak mau lihat, bawa sini handuknya.

Umi : Karena yang mau ditusuk bagian muka, sebaiknya Bapak merem aja, nggak usah ditutup mukanya.

Umi menusukkan jarum halus ke salah satu titik di bagian wajah. Keringat sibapak mengucur deras. Umi biarkan sejenak, memberi kesempatan kepada beliau menata perasaannya.

Umi : Gimana, bisa dilanjut?

Sibapak diam, sang istri menatap penuh kasih sambil menggenggam tangannya.

Umi : Terbukti ketakutan Bapak nggak beralasan, kan? Bapak tidak pingsan? Bapak sudah berhasil mengatadi rasa takut. Dilanjut, ya?

Bapak : Tapi saya keringetan sekujur tubuh, Mi.

Umi : Nggak pa pa, itu normal.

Bapak : Nggak pa pa kalau saya cerewet,ya?

Umi tersenyum dan melanjutkan terapi.

Alhamdulillah, sibapak berhasil mengatasi rasa takutnya dan berjanji datang untuk terapi berikutnya sesuai yang dijadwalkan.

Begitulah terapis! Selama masih bisa bangun, walau badan sendiri belum sehat, masih bisa menolong orang lain.

Jangan bilang terapis kok sakit, ya? Terapis iuga manusia, ada saatnya lelah, kurang istirahat, daya tahan tubuh menurun, dan akhirnya sakit. Bersyukur, dalam kondisi seperti itu, dengan sedikit ilmu yang Allah titipkan, masih bisa melakukan suatu hal yang mungkin sangat berarti bagi orang lain.

Allahuakbar?

Sabtu, 12 Maret 2016

Mengistirahatkan Mata

Ada teman, kalau menjawab sms selalu sangat singkat. Saat ditanya, beliau menjawab, matanya nggak tahan lama-lama melihat layar hp.

Teman yang lain lagi, sering menghilang dari grup wa, ketika ditanya, alasannya nggak jauh beda, matanya sakit kalau kelamaan buka layar hp.

Masyaallah!

Pernahkah kita bersyukur diberi kekuatan untuk bisa berinteraksi dengan layar hp, laptop, komputer, berjam-jam setiap harinya?

Pernahkah memikirkan hak istirahat mata kita agar lebih lama bertahan dengan kekuatannya? Atau bahkan kita termasuk yang kejam dalam memperlakukannya?

Banyak cara dilakukan untuk merawat kesehatan mata, terutama yang berkaitan dengan layar monitor.

1. Harusnya setiap 20 menit, alihkan pandangan dari layar monitor, tapi kalau sedang asyik, suka lupa untuk memperhatikan hal ini.

2. Atur pencahayaan ruangan, usahakan yang paling nyaman untuk mata.

3. Sering-sering memandang kehijauan, seperti kebun, sawah, gunung, dll.

4. Konsumsi sayur dan buah yang banyak mengandung vitamin A.

5. Tidur dalam kondisi tidak terlalu terang atau sekalian gelap.

Nah, satu lagi istirahat mata plus-plus:

1. Nyalakan murotal qur'an atau dzikir yang sebagian besar kita hafal.
2. Matikan lampu ruangan.
3. Posisi berbaring atau duduk rileks, mata terpejam.
4. Fokus pada bacaan murotal atau dzikir sambil mengikuti.

Selamat mencoba 😊

Selasa, 08 Maret 2016

Latihan Minum Banyak

Tau, sih, kalau manusia dewasa itu butuh minum 2 sd 3 liter sehari, tapi entahlah, sejak kapan saya malas sekali minum air tawar.

Kadang sehari bisa tidak minum air tawar!

Jadi minum apa?

Minum yang ada rasa, sepertk jus buah, teh, kadang-kadang kopi susu encer. Bahkan setelah makan, pun jadi biasa tidak minum, kecuali saat makan nasi yang waktu masak kurang air, dimakan dengan sambal,mlalapan dan ikan, tanpa kuah sayur. Itupun di lambung terasa tidak nyaman.

Apa tidak haus?

Sejak tiga tahun terakhir, aktivitas banyak di rumah, mungkin itu sebabnya tubuh seperti tidak terlalu butuh minum banyak.

Belakangan, hal itu jadi pikiran, mengingat kesehatan yang sering terganggu, dan saya duga ada hubungannya dengan metabolisme tubuh yang tidak optimal, salah satunya karena kurang  cairan.

Belakangan, ada beberapa teman yang kemana-mana membawa botol yang dirancang, di tengahnya ada tempat irisan buah. Sempat tanya, sih, tapi jawabannya menurut sudut pandang kepentingan yang bersangkutan yang sedang diet menurunkan berat badan dan kesehatannya.

Alhamdulillah, kemarin membaca obrolan di beranda fb dari teman yang punya keluhan yang sama, malas minum air tawar karena tidak nyaman di lambung.

Salah satu komentator menawarkan untuk minum air yang diisi
irisan buah agar minum terasa lebih segar dan tidak mual.

Saran itu langsung saya coba, kebetulan suami bawa buah manggis, jadilah dia korban pertama.

Alhamdulillah, satu gelas berhasil habis sampai pagi.

Tadi sengaja cari buah, beberapa jenis, untuk dicoba, mana yang paling nyaman.

Korban kedua, irisan buah pir.

Berhasil! Dari pagi sampai dzuhur bisa menghabiskan 6 gelas.

Setelah dzuhur, coba buah rambutan. Lumayan, sampai asar bisa tambah 2 gelas.

Setelah asar, kembali ke buah pir, karena rasanya lebih segar. Buahnyapun bisa dimakan setelah ganti air 3 atau 4 kali.

Alhamdulillah, hari ini berhasil! Semoga nggak cepat bosan dan itu menjadi kebiasaan sehari-hari.

Tapi...sabar, ya, efeknya meningkatkan frekwensi ke kamar kecil.

Jumat, 10 Oktober 2014

Homeostatis

Salah satu teori pengobatan yang sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu dan masih relevan sampai sekarang adalah teori keseimbangan (homeostatis).

Menurut teori ini, alam semesta dan isinya,termasuk organ tubuh manusia, selalu dalam keadaan seimbang. Apabila salah satu berlebihan dan menguat atau sebaliknya, berkurang atau melemah, maka ketidakseimbangan akan terjadi. Ketidakseimbangan inilah yang menimbulkan penyakit, seperti hipertensi (tekanan darah tinggi) hipotensi (tekanan darah rendah), hiperglikemia, hipoglikemia, dsb. Agar fungsi tubuh kembali seimbang, maka harus dilakukan penyeimbangan ulang. Bagian yang berlebih, dikurangi dan yang kurang, ditambah.

Secara alami, tubuh akan menyeimbangkan dirinya sendiri bila terjadi ketidakseimbangan pada salah satu anggota/organnya. Tetapi apabila ketidakseimbangan itu terlalu banyak, maka tubuh tidak mampu menyeimbangkannya dengan sempurna. Itulah saat tepat untuk melakukan pengobatan sebagai upaya penyeimbangan.

Idealnya kita mampu mencegah datangnya penyakit dengan cara menjaga keseimbangan itu, menjaga pola hidup seimbang. Hal itu sejalan dengan firman Allah dalam Al Qur'an surat Al Mulk ayat 3, yang artinya,"Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?"

Dalam diri kita ada tiga unsur yang wajib kita jaga hak-haknya agar tercapai keseimbangan hidup, yaitu unsur jasad, ruh dan akal.

Jasad, butuh dicukupi kebutuhannya dengan makan-minum yang halal dan baik, istirahat yang cukup dan gerak yang memadai.

Ruh harus dipenuhi juga kebutuhannya, yaitu segala aktivitas yang mengantarkan kita pada dzikrullah, karena hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram. Dalam hal pengelolaan emosi pun, kita harus seimbang. Kapan saatnya dan seberapa kadarnya kita harus gembira, sedih, marah, takut, dsb.

Akal juga butuh konsumsi, yaitu ilmu yang akan mempengaruhi kebijakan kita dalam menyikapi kehidupan.

Sayangnya, dengan alasan memenuhi kebutuhan hidup, mengejar target, menunaikan amanah dan kewajiban, kita sering mengabaikan keseimbangan ini. Alhasil?

Banyak sekali keluhan terlontar dari lisan kita karena berbagai gangguan kesehatan. Belum lagi penurunan produktivitas karena tuntutan istirahat karena sakit. Belum lagi biaya pengobatan yang harus dikeluarkan dan ketidaknyamanan hidup yang kita rasakan.

Sebenarnya, di mana masalah pokoknya?

Sepertinya pada ketidakmampuan mengendalikan diri. Atau ada pemikiran lain?

Minggu, 28 September 2014

Di atas Langit ada Langit

Entah! Siapa yang pertama membuat ungkapan ini, tapi yang teringat, kalimat ini pernah kubaca di serial Wiro Sableng saat sekolah dulu,,,ha hay, ketahuan senang baca cerita silat.

Terlepas keshahihan dalilnya, tapi bagiku, kalimat ini benar dan sangat cocok untuk mengingatkan diri saat mulai merasa punya kelebihan ilmu.

Di hadapan klien atau pasien, seorang terapis tentu wajar jika merasa dianggap memiliki kelebihan ilmu tentang pengobatan. Secara logika, tidak akan datang seorang yang menderita sakit kepada orang yang dianggapnya tidak mumpuni mengobati. Perasaan itupun perlu dimiliki terapis, sekedar meningkatkan kepercayaan dirinya melakukan tindak pengobatan.

Saat bertemu dengan seorang terapis lain, kepercayaan diri itu mulai terusik. Naluri membandingkan diri membuat sadar, ternyata orang lain mempunyai pemahaman yang lebih dalam untuk hal yang sama atau memiliki ragam ilmu yang berbeda.

Lain lagi ketika berkumpul dengan beberapa terapis yang memiliki pemahaman lebih dalam dan keilmuan yang lebih beragam, semakin diri ini merasa ibarat sebutir pasir di pantai yang luas.

Bagaimana halnya bila bersua dengan tutor? Ha ha ha perasaan bangga karena selama ini berkesempatan belajar mandiri, sirna seketika, karena pemahaman yang sedang coba ditanamkan, tercerabut tersebab dasar keilmuan yang mentah!

Ilmu yang diturunkan Allah sangat luas. Tak cukup waktu kita mempelajari semuanya. Kalau kita bisa saling mengisi dan berbagi, mengapa harus saling bersaing? Kalau berbagai ilmu berpotensi untuk disinergikan, mengapa pula harus saling dipertentangkan? Kemuliaan seorang yang berilmu ada pada semakin banyak kemanfaatan yang ditebarnya untuk kemaslahatan manusia dan alam, bukan pada keunggulannya dalam menyimpan ilmu.

Kerendahan hati akan meninggikan derajat kemuliaan seseorang, sebagaimana Allah meninggikan derajat manusia selaras dengan derajat kehambaannya, semakin tunduk seseorang dihadapanNya, semakin mulia dalam pandangan-Nya.

Ada juga ungkapan, merendahkan diri untuk meninggikan mutu, ha ha ha, itu sih modus!