Sabtu, 20 September 2014

Menghindari Khalwat

"Umi mengobati laki-laki juga, ya?" tanya seorang tetangga saat berjumpa di warung.

"Tergantung kasusnya. Selama Abi masih bisa menangani, Umi nggak perlu turun tangan," jawabku, menjelaskan.

"Memang ilmu Umi lebih tinggi?" tanyanya, menatapku, tajam.

"Bukan masalah ketinggian ilmu, tapi perbedaan jenis metode yang digunakan," jawabku sambil tertawa. Ah jadi ingat bacaan waktu kanak-kanak, dalam dunia ilmu persilatan, di atas langit ada langit. Selalu ada yang berilmu lebih tinggi, nggak boleh sombong.

"Beda ya, jenis ilmu Umi dan Abi?"

"Untuk metode yang sama, Abi menangani pasien laki-laki, Umi pasien perempuan. Nah untuk kasus yang butuh penanganan dengan metode yang hanya salah satu dari kami yang bisa, ya terpaksa menangani semua, tanpa membedakan jenis kelamin." Kuperhatikan beliau masih belum puas, maklumlah, selama ini, dalam kajian di ta'lim, sudah dijelaskan batasan interaksi dengan lawan jenis yang bukan mahram.

"Itu pun dengan  izin yang bersangkutan. Kalau mereka keberatan, kami tidak memaksa, karena hal ini bisa masuk ke dalam kategori kondisi darurat, walaupun mungkin ukuran darurat itu relatif," tambahku.

"Kalau Umi menangani pasien laki-laki, Abi nggak cemburu?" tanyanya, hati-hati.

"Cemburu atau tidak, hanya Abi yang tahu, yang jelas, Umi nggak mau melakukan itu tanpa izin Abi, walaupun dalihnya menolong dan berbuat kebaikan," tandasku.

"Untuk meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan, terutama melanggar larangan Allah, apa yang Umi lakukan?"

"Sebenarnya lebih ringan Umi, karena aurat laki-laki kan hanya sedikit. Lebih banyak kasus yang di luar aurat, dan selain menggunakan media, Umi juga selalu menggunakan sarung tangan, jadi tidak terjadi kontak langsung dengan kulit pasien. Kami juga menghindari khalwat. Umi menangani pasien laki-laki yang biasanya ada pengantarnya atau ditemani Abi, Jika terpaksa Abi sedang keluar, kan ada anak Umi, pintu tempat praktek juga tidak tertutup. "

"Umi nggak cemburu kalau Abi menangani pasien wanita?" kejarnya. Aku tersenyum, mencoba memahami rasa ingin tahunya. Aku tahu, itu dilakukan karena perhatian dan sayangnya padaku.

"Mmm, Umi percaya pada Abi, sama halnya Abi terhadap Umi. Kami berusaha dewasa dalam menghadapi permasalahan yang menyangkut tugas sebagai sesama terapis. Memang semua nggak lepas dari kehidupan pribadi, tapi kami selalu mengaitkannya dengan pengawasan Allah. Walaupun misalnya ada yang kami sembunyikan, tapi kami tidak bisa bersembunyi dari pengawasan Allah. Sebagai pribadi kami langsung bertanggung jawab pada Allah."

"Nggak pernah ada kejadian yang menimbulkan keributan?"

"Sekali dua, pernah. Itu tanda kami saling memperhatikan dan melindungi, tapi sebatas saling mengingatkan. Kami kembali pada niatan awal berkecimpung di dunia pengobatan ini, selain sebagai sarana menjemput rizki juga tempat kami memberi manfaat pada orang banyak dengan sedikit ilmu yang kami punya."

Beliau manggut-manggut, semoga mengerti dengan penjelasanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar